Thursday, July 31, 2008

The Gift - Sepasang bola mata untuk Penelope -

Bahagia bercampur keberuntungan dua hal itu yang selalu kurasakan sebelum usiaku genap menginjak 6 tahun. Tiada duka yang kurasakan. Hingga aku bertemu dengannya. Dia adalah orang yang membuatku menjadi wanita yang paling bahagia namun dia juga membuatku kehilangan segala – galanya.

***

Penelope itulah nama yang diberikan oleh kedua orang tuaku. Aku dilahirkan di sebuah keluarga yang penuh dengan kehangatan dan juga boleh dikatakan berkecukupan. Kedua orang tuaku sangat menyayangiku. Aku memiliki seorang pengurus yang juga sangat menyayangiku. Betapa indahnya dunia ini dikelilingi dengan orang – orang yang begitu berarti.

Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.

Hingga peristiwa itu terjadi…

Peristiwa yang membuat hidupku berantakan. Peristiwa yang merengut nyawa kedua orang tuaku. Peristiwa yang mengakibatkan aku tidak dapat melihat betapa indahnya dunia ini untuk selama – lamanya. Menikmati betapa menawannya kota Paris, tempat aku dilahirkan dan dibesarkan hingga usiaku menginjak 10 tahun. Mataku buta. Aku menjadi seorang perempuan yang cacat. "Tuhan… Mengapa semua ini harus terjadi pada diriku? Salah apakah aku?" Tanya diriku pada Sang Penguasa Surga.

Ketika sebuah mobil Nissan berwarna hitam menghantam trotoar jalan dan tertimpa tiang lampu yang roboh. Naasnya mobil Nissan berwarna hitam itu adalah mobil yang sedang kutumpangi beserta kedua orang tuaku dekat dengan Eiffel Tower. Pemandangan terakhir sebelum kedua mataku ini menjadi buta adalah menara Eiffel yang berdiri dengan gagahnya diterangi lampu malam yang gemerlap. Menara yang begitu indah dan banyak dikunjungi orang, kini berubah menjadi gelap dan menakutkan. Ayah dan ibuku meninggal seketika. Dan aku?

Aku menjadi gadis buta.

Tuhan masih menyayangiku dengan membiarkan Ms. Georgina, pengasuh yang sangat menyayangiku mendampingiku hingga aku menginjak usia remaja. Aku kehilangan segala – galanya baik harta maupun kedua orang tuaku. Hanya Ms. Gina yang kupunya saat ini. Aku diasuh dan dibesarkan dengan rasa sabar dan tabah yang luar biasa olehnya. Dia bekerja keras membanting tulang dengan menjadi seorang pelayan di kediaman seorang perlente asal Denmark. Ms. Gina sangat lelah. Di samping dia harus bekerja di kediaman perlente itu, dia juga harus mendidik dan mengajariku melukis dan bermain alat musik, harpa (peninggalan ibuku).

Ms Gina selalu memberiku semangat ketika aku kehilangan rasa percaya diriku. Dia pendorong dan juga obat penguat tubuhku ketika sedang lemah.

Terima Kasih Tuhan.

***

10 tahun kemudian…

Waktu demi waktu terus bergulir dengan cepat bagaikan bola salju yang menggelinding dari atas pegunungan salju. Perlahan namun pasti dia akan sampai pada kaki gunung. Kini usiaku sudah menginjak kepala 2. Hidupku dipenuhi kesedihan dan kegundahan selama 10 tahun terakhir ini. Walaupun demikian aku tidak pernah mengeluh maupun menyesali apa yang sudah terjadi. Tuhan masih begitu baik padaku dengan membiarkan Ms.Gina mengurus dan membesarkan aku yang buta ini.

Aku sedang memetik harpa peninggalan ibu seperti biasa, di tempat biasa yaitu di atas jembatan River Seine yang sangat indah dan ramai. Semilir angin bertiup begitu serasi dengan irama yang kupetik. Kudengar suara yang membuatku jantungku berhenti berdegup untuk sesaat.

"Permainan harpamu sangat indah." Puji suara itu.

"Merci." Balasku dengan senyum.

"Boleh kutahu namamu, madame?"

"Penelope."

"Monsieur?"

"Pierre. Senang berkenalan dengan anda."

Perkenalan singkatku dengan Pierre membawaku ke dunia yang berbeda. Dia adalah lelaki yang luar biasa. Dia menemaniku bermain harpa di jembatan River Seine. Dia mengajakku berkeliling menikmati indahnya kota Paris walaupun aku buta, dia tidak malu berteman denganku bahkan dia rela menjadi sepasang mata bagiku. Dia menjadi tour guideku. Dia adalah hadiah terindah yang dianugerahkan Tuhan padaku. Bahkan dia membisikkan satu kalimat ke telingaku yang membuatku merasa terbang ke langit ke tujuh "Jangan khawatir, aku akan menjagamu Penelope."

Kami juga mengunjungi Arc de Triumph, Notre Dame dan Louvre Museum melihat lukisan Monalisa. Walaupun aku tak dapat melihat, Pierre dapat menggambarkan dengan jelas seperti apa lukisan demi lukisan yang terdapat dalam Louvre. Tidak luput dari kunjungan kami, Champs Elysees. Dimana kita dapat menikmati keindahan kota Paris dari ketinggian.

Hingga dia akhirnya mengajakku ke tempat dimana aku kehilangan orang yang sangat kucintai, Papa dan Mama. Eiffel Tower. Kedua kakiku bergetar ketika kutapakkan di atas lantai.

"Ada apa denganmu, Penelope? Apakah kau tidak enak badan?"

Aku hanya menggeleng pelan.

***

"Ini adalah Eiffel Tower. Menara yang sangat indah." Cerita Pierre.

Aku mengangguk.

Pierre menggandeng tanganku menuju menara. Dia menggendongku di atas punggungnya yang begitu gagah menaikki tangga demi tangga menuju puncak menara Eiffel.

Di atas menara, Pierre mengatakan satu hal yang mengubah hidupku.

"Penelope." Dia memanggilku.

"Sebenarnya aku bukanlah seorang putera tukang masak yang dahulu pernah kukatakan padamu tetapi aku adalah putera Monsieur Dupont. Henri Dupont adalah ayahku."

"Henri Dupont pemilik Hotel Ritz?" Tanyaku tak percaya.

"Iya. Pierre Dupont adalah nama panjangku."

"Jadi Henri Dupont adalah ayah Pierre? Henri Dupont bangsawan yang termasuk dalam jejeran orang terkaya di Prancis?" Kataku dalam hati.

"TIDAK MUNGKIN!!"

Begitu mendengar kenyataan yang sungguh di luar dugaan, kepalaku menjadi berat aku memegang kepalaku dan aku jatuh ke lantai tak sadarkan diri.

Ketika aku tersadar, kudapati diriku terbaring di atas ranjang rumah sakit. Pierre menggengam tangan kananku dengan kedua tangannya. Dia cemas. Sangat cemas. Aku dapat merasakannya. Kenyataan yang dia katakan membuatku sangat terpukul. "Mungkin Pierre sangat menyesal." Pikirku dalam hati. Tanpa kusadari air mata mengalir membasahi kedua pipiku.

"Kau sudah sadar Penelope?"

Aku hanya diam.

"Maafkan aku karena telah membohongimu." Pintanya. Suara Pierre terdengar sendu.

"Maaf Pierre. Bolehkah kau tinggalkan aku sebentar?"

"Baiklah bila itu yang kauminta."

Aku pergi meninggalkan rumah sakit itu tanpa sepengetahuan Pierre. Walaupun berat langkah ini. Namun aku sudah bertekad untuk tidak bertemu dengan Pierre. Hanya instinct dan suara yang memantapkan langkah kakiku. Satu hal yang kupikirkan. Aku tidak boleh ditemukan oleh Pierre dan dia tidak boleh tahu bahwa ayahnya adalah …..

***

Sungguh sangat sial, di tengah jalan aku bertemu dengan sekelompok berandalan. Mereka hendak merengut kesucianku dengan paksa. Mereka akan menikmati ketidakberdayaanku. Aku menjerit sekuat tenaga, aku memberontak. Aku menyerukan nama Tuhan dalam hatiku. Dengan sangat piluh. "Tuhan.. Tolonglah aku." Keajaiban pun datang. "Hentikan itu!" Pekik suara yang sudah tidak asing di telingaku. Suara yang sangat hangat yang kukenal. Pierre muncul dengan menghajar semua berandalan – berandalan kurang ajar dengan sekuat tenaganya. Aku pun tertolong. Namun tetap saja hati ini tidak dapat membiarkan Pierre mendekatiku karena dia adalah putera seorang yang telah membunuh kedua orang tuaku dan membuatku buta.

Aku gemetaran ketakutan. Pierre memelukku. Membuatku merasa nyaman dan aman.

"Merci Monsieur." Gumamku sambil berusaha tidak mengenali sosok lelaki yang telah menyelamatkanku dari malapetaka.

"Penelope, ini aku Pierre."

"Sorry. Monsieur, saya tidak mengenal anda."

"Apa yang terjadi padamu? Mengapa kau jauhi aku? Maafkan atas semua kebohongan yang sudah kukatakan padamu. Aku berjanji Penelope, bahwa aku tidak akan pernah membohongimu lagi. Aku berjanji."

"Bukan masalah kau membohongiku Pierre."

"Kalau begitu kenapa?"

"Sepuluh tahun yang lalu, kedua orang tuaku mengalami kecelakaan dekat Menara Eiffel. Dan penyebab kecelakaan itu adalah Monsieur Henri Dupont, ayahmu." Aku membeberkan kekelaman masa laluku.

Mendengar hal itu Pierre mati rasa. Dia sangat terpukul mendengar pengakuan Penelope.
***

2 tahun kemudian

"Penelope, ada surat dari dokter untukmu." Ms. Gina memanggilku.

Kubuka surat itu, kubaca isinya.Tanpa kusadari air mataku mengalir.

Dear Madame Penelope.

Datanglah ke Rumah sakit minggu depan karena kami sudah menemukan seseorang yang bersedia mendonorkan kedua biji matanya untuk Anda.

Hal yang selama ini kutunggu selama 2 tahun, akhirnya datang juga. Aku akan dapat melihat kembali. Menikmati keindahan kota Paris. Melihat indahnya lukisan Leonardo Da Vinci di Louvre.

***

Operasi berlangsung selama 2 jam. Dan akhirnya. Satu kata : "BERHASIL"

Aku dapat melihat kembali.

Tak berapa lama, aku diizinkan pulang ke rumah. Akhirnya dapat menghirup udara segar setelah mendekam selama satu pekan lamanya di rumah sakit. Pandanganku tertuju pada sesuatu hal yang membuatku terkejut. Kulihat sesosok lelaki yang tidak asing sedang berusaha menuju suatu tempat di rumah sakit ini. Entah kemana dia ingin pergi. Nasibnya tidak jauh berbeda denganku dahulu. Dia buta. Namun kini berbeda. Segelintir rasa iba menghinggapi diriku.

"Bolehkah aku membantumu, Monsieur?" Aku menawarkan.

Lelaki itu mengangguk pelan.

"Hendak kemana?"

"Ke taman." Jawab lelaki itu.

Mendengar suara lelaki itu. Aku terperanjat. Suara yang sangat kukenal. "Apakah dia Pierre?" Walaupun aku tidak pernah melihat sosoknya namun suaranya tidak akan pernah aku lupa.

"Siapa nama Monsieur?"

"Pierre Dupont."

Ternyata dia memang Pierre. Lelaki yang selama ini kurindukan siang dan malam selama 2 tahun ini. Lelaki yang tidak dapat kugapai. Lelaki yang hanya dapat kuimpikan. Namun waktu sudah mempertemukan aku dengan dirinya kembali.

***

Pierre Dupont, dia adalah pria yang mendonorkan kedua buah biji matanya untukku. Dia adalah hadiah termanis yang Tuhan anugerahkan padaku.

-Thanks God-

Dictionary

Merci = Terima kasih

Madame = Nona, Miss

Monsieur = Tuan, Mrs.

No comments:

Followers

About Me

My photo
I am just an ordinary girl who think of the bright future and I want to make my big dreams come true.